Sabtu, November 19, 2011

Catatan Pinggir Kemiskinan

Tak habis kemiskinan diperbincangkan sebagaimana orang miskin tak juga berkurang kuantitas dan kualitasnya. Semua juga tahu kemiskinan adalah suatu kondisi yang tidak pernah nyaman tapi ada saja yang menjadikannya obyek pencarian keuntungan baik material, sosial bahkan yang paling gila adalah keuntungan politis. Sebagai orang yang pernah merasakan getirnya kemiskinan, saya hanya ingin menjadikan catatan ini menjadi penyemangat bagi saya untuk tidak meratapi kemiskinan diri dan menguatkan siapa pun untuk melewati masa yang sama dengan terus mengoptimiskan hidup yang berlaku sekali di dunia ini. Kadang dalam kondisi miskin secara material kita jadi merasa sangat pantas dikasihani, diderma sehingga dengan melunturkan gengsi yang sebenarnya masih kukuh mengendap di dasar ego, kita secara tak sadar memprokalmirkan kemiskinan diri sendiri dengan mendaftarkan sebagai yang pantas mendapatkan uluran tangan, mendapatkan bantuan sosial, mencatatkan diri dalam data base orang miskin (penerima beras miskin, Raskin). Di sisi lain, ketika gengsi itu menyeruak dari kedalaman ego, kata 'miskin' mengundang 'sakit hati' ketika disematkan di muka terhormat kita. Sebutlah kondisi ketika berada dalam lingkungan yang menempatkan penghormatan bertingkat menurut status sosial dan ekonomi, maka ketidaknyamanan ini memaksa kita melangkahi status yang tidak bersesuaian.

Tidak ada larangan menjadi miskin, tetapi yang lebih penting dari itu adalah tidak ada perintah untuk memiskinkan diri. Jika miskin atau kaya adalah dua buah yang tinggal petik dari pohon nasib, maka tidak ada yang rela memetik buah kemiskinan itu meskipun buah kekayaan itu telah habis terpetik. Sebanyak-banyaknya uluran tangan untuk menyantuni orang miskin, sehebat-hebatnya konsep ZAKAT dalam keyakinan Muslim, tidak akan ada yang betah bermukim dalam kemiskinan. Bahkan betapapun Sang Rasul mulia, Muhammad SAW begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang miskin dengan mendekatkan dirinya kepada mereka bukan hanya di dunia, tetapi kelak juga di akhirat. Tetapi segila-gilanya manusia, atau secinta-cintanya kepada Sang Rasul, maka ketika ditawarkan kekayaan mulia di antara 'kemiskinan' yang juga mulia,  maka pilihan waras tetap jatuh pada kekayaan.

Sungguh hati begitu pilu menyaksikan kemiskinan dijadikan komoditi politik untuk menuju dan mempertahankan kekuasaan. Bukan ingkar janjinya atas hak orang miskin --yang sudah usang untuk diperbincangkan--, tetapi memperdayakan orang-orang miskin yang hidup mayoritas di negeri yang kaya-raya ini membuat hati tak habis merasa. Ini wajar dalam strategi politik mereka, tetapi terasa menyayat hati bagi yang bernurani. Mereka, pemburu kekuasaan itu menyadari begitu sulit meyakinkan dan mendapatkan dukungan dari kalangan menengah ke atas yang umumnya berpendidikan atau berpengetahuan mapan, karena logika politik sangatlah berat diinjeksi menjadi kesepahaman dalam komunitas orang-orang berilmu. Maka orang-orang miskinlah yang paling mudah digiring rasa percayanya dengan retorika bual-basung yang membuai.

Tentu sebagai 'manusia' kita tidak ingin menjadikan orang miskin sebagai perabot kekuasaan di tengah deraan kesulitan hidupnya. Tidak salah mencurahkan perhatian pada mereka untuk memperjuangkan kelayakan hidupnya dengan mengangkat jargon-jargon politik yang pro rakyat (miskin) berupa kebijakan yang berpihak pada penguatan kesejahteraan mereka. Dan yang paling penting adalah orang-orang miskin sendiri meyakinkan diri untuk tidak berdamai dengan kemiskinannya. Aksi-aksi karitatif kepada orang-orang miskin sudah menjadi kewajiban bagi yang kaya dan sebaliknya orang-orang miskin pun berhak menuntut sistem sosial yang melingkupinya agar tidak selamanya menggantungkan nasib dari belasan kasih.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;