Senin, Desember 28, 2009 0 komentar

EMPAT TAHUN MENJALIN KEBERSAMAAN

Sebuah Dedikasi untuk SMA Hidayatullah Bontang
Oleh : Bun Yamin (Guru SMA Hidayatullah Bontang tahun 2002 – 2006)

Gedung SMA Hidayautullah Bontang


“Bekerja dengan cinta” dalam bahasa Kahlil Gibran tidaklah berlebihan dibandingkan “Dunia panggung sandiwara” dalam syair Ahmad Albar. Cinta merupakan kepasrahan sadar dalam lingkar ketulusan dan bukan kepura-puraan yang dipatok dalam penjara keterpaksaan. Melakoni setiap langkah harus dapat dinikmati dan ini hanya dapat terwujud dengan merasai setiap gerak sebagai cinta yang terejawantah. Kalau hanya sandiwara, maka setiap pemeran sadar akan akhir suatu cerita, sementara hidup adalah peran yang tak pernah disadari akhir kisahnya. Peranan dapat berubah setiap saat, tetapi citra sebagai makhluk ‘penghamba’ tidak dapat lepas, sehingga bekerja haruslah merupakan manifestasi penghambaan kepada Yang Tercinta. Mungkin inilah setitik keyakinan yang kuupayakan dalam setiap ayunan langkahku menapaki setiap jalur dalam alur kisah kehidupanku.

Pertengahan tahun 2002, awal sebuah peran yang kujalani dengan segala keterbatasan, kupatrikan tekad untuk membangun makna bahwa hidup adalah sebuah pelayanan. Banyak godaan dan bujuk rayu silih berganti, berlalu ataupun hinggap di benakku mencoba menakut-nakuti dengan keputusasaan atau mengiming-imingi harapan indah yang semestinya kuraih dalam sekejap. Tidak perlu munafik, keputusasaan dan mimpi-mimpi kadang mendominasi alam pikiranku, tetapi aku mencoba bertahan di pelataran nurani dengan segala daya. Kuyakinkan diri, tugas mulia ini tidak boleh disia-siakan. Ini tanggung jawab besar dan tidak banyak orang yang sanggup memikulnya. Di antara orang-orang yang memiliki kesanggupan, ternyata banyak yang tidak bersedia menerimanya. Karena aku menyatakan siap dalam bathinku, ketaksanggupan harus kuubah menjadi kesanggupan walaupun kenyataan nantinnya berkata lain. Aku harus siap dan ridha dengan segala pujian dan makian sebagai konsekuensi pernyataan bathinku.

Waktu berjalan dengan langkah-langkah berat, tetapi tak ada kata berhenti atas nama kelelahan, kebosanan, kejenuhan dan kejemuan. Cita ideal tetap kuusung tinggi-tinggi meski dengan tetesan keringat darah dan bah air mata harus mengiringi langkah-langkahku. Kutepis segala keraguan dan perjalanan harus kuteruskan. Hantu –hantu ‘putus asa’ dan ‘rasa rendah diri’ mencoba menawarkan ‘jasa kengerian’. Aku tak boleh kalah dan harus menang dalam setiap tahap pertarungan. Menang hari ini harus kubalas dengan menang dan menang lagi. Sukses tidak boleh dinilai dengan standar ganda, dan standar idealnya Ridha Allah SWT. Tetapi jangan sampai hal ini hanya pelarian dari ketakberdayaan diri dalam persaingan duniawi. Aku selalu bertanya dan meminta kejujuran bathinku untuk menjawab karena aku selalu takut dan curiga jangan sampai kemunafikanlah yang mendasari setiap langkahku. Berbahaya! Ini tak boleh dibiarkan. Aku harus selalu berkaca dalam kebeningan nurani, seperti apa tampang dari wajah bathinku yang tersembunyi di balik kepatuhan ragaku.

Banyak hal yang tak dapat terkata karena kesibukan menata emosi; pikiran yang tak terarah, semangat yang kembang-kempis dan ambisi yang mengebu-gebu. Hitungan detik kadang terasa begitu lama, tetapi pada kesempatan lain hitungan tahun terasa terlalu singkat. Semuanya terjadi karena sistem pembacaan emosi yang selalu mengalami fluktuasi dari skala dasar keceriaan sampai skala puncak kejenuhan. Begitulah pergantian cuaca dan musim emosi mengiringi pergantian waktu yang berpacu dalam kelajuan konstan tanpa dapat dihentikan dengan gaya apa pun (hukum I Newton tidak berlaku).

Mengemban tugas sebagai pendidik yang sejak awal kukisahkan dalam tulisan ini memang bukan tugas yang dapat dianggap enteng tetapi yang lebih sering terjadi adalah pendidik yang dipandang enteng di tengah masyarakat. Apalagi jika ia hanya ‘pendidik karbitan’ yang mengejar target jam mengajar agar mendapat upah. Sungguh menyedihkan dan patut dikasihani, bukan karena kekurangan materi yang nyata diperolehnya, tetapi karena kegersangan jiwa yang telah melanda bathinnya. Menjadi seorang pendidik tak selayaknya dipandang sebagai pangkat duniawi berbasis materi, tetapi ia adalah predikat pejuang yang harus lebih merindukan kesyahidan sebagai gelar anumerta dari Tuhannya. Mungkin terlalu ideal bagi manusia yang masih memandang kesuksesan dengan standar materi, tetapi ini juga terlalu indah bagi mereka yang telah menerjunkan diri dalam lautan cinta dan samudra kasih yang selalu merindukan pertemuan dengan Tuhannya.
Pernah berdiri di depan kelas ini sebagai 'tuan guru'

Aku berharap, idealisme yang kupegang bukan untuk sekedar menghibur diriku yang dalam pandangan dunia hanyalah rumput kering yang tersisa di tanah yang tandus. Dan jika boleh berharap yang lebih besar, aku tidak ingin memandang diriku lebih mulia hanya karena melihat kemuliaan dan kehinaan dengan pandangan universal yang acuannya adalah Ridha Allah. Selanjutnya aku pasrahkan hatiku kepada Allah yang dapat membolak-balikkan arah geraknya, semoga selalu dituntun ke arah jalan yang diridhai-Nya. Aku harus lebih banyak bersyukur, karena sejak menjalankan tugasku sebagai pendidik, begitu banyak pelajaran berharga yang kudapatkan. Aku seperti kembali menuntut ilmu di bangku kuliah dan bahkan lebih dari itu, ilmu yang kuperoleh harus dapat kubagi dengan segala daya harus kuupayakan untuk dapat melakukannya. Namun kesedihan tak dapat jua kututupi ketika aku merasa tak sanggup dan gagal memainkan peranku sebagai pendidik. Yang harus terus kupertahankan adalah semangatku untuk mencari ide dan solusi atas segala permasalahan apapun yang kuhadapi. Jika harus merasa gagal menjalankan tugas utamaku sebagai martyr di garis terdepan pendidikan anak bangsa, aku tetap harus meyakini hal ini sebagai proses betahap dan dengan kesungguhan penuh untuk meraih sukses yang gemilang di kemudian hari. Sukses yang kumaksudkan bukanlah prestasi material, tetapi kebanggan yang tiada tara ketika menyaksikan anak-anak didik yang sempat berinteraksi langsung dengan bidang ilmu yang kufasilitasi meraih kemampuan yang lebih dari yang kuharapkan. Aku kira inilah harapan yang diidam-idamkan dan kebanggaan yang selalu manis untuk dikisahkan oleh seorang pendidik.

Yang lebih menyejukkan jiwaku, aku bisa mengabdi di sebuah lembaga yang mengintegrasikan keyakinan dengan ilmu yang sejalan dengan praktek amaliah sehari-hari. Sungguh ini adalah pemandangan indah yang kuharapkan dapat kusaksikan setiap saat di mana pun. Karena dengan beginilah, pendidikan akan berinteraksi dengan hidup yang sebenarnya yaitu membangkitakan kesadaran tentang kemakhlukan diri yang menghamba kepada Pencipta alam semesta. Di sini wajah pendidikan ‘dibersihkan’ orientasinya dari yang bergerak dengan dorongan materi duniawi menjadi orientasi ruh ukhrawi. Kecerdasan universal yang diharapkan dalam orientasi ini adalah bangkitnya potensi diri menjadi kekuatan yang dapat menaklukkan dunia materi dan meletakkan segalanya di bawah kepentingan hidup yang hakiki pasca dunia. Semoga ini bukan utopia belaka, tetapi harapan nyata yang dapat diwujudkan dengan kesungguhan dan asa yang tak pernah putus pada Kasih dan Pertolongan Allah.
Di sini dulu biasa berdiri saat apel pagi

Namun kelebihan yang ada di lembaga ini kiranya tak perlu dirasakan sebagai kehebatan yang membuat kita lengah terhadap kekurangan kita. Karena jangan sampai identitas yang kita pasang hanya muncul dalam bentuk simbolis tanpa isi. Ketika kita tampil dengan model pendidikan berbasis syariah, maka kita harus meyakinkan masyarakat di sekitar kita bahwa hanya model seperti inilah yang paling sesuai dengan tuntutan zaman yang akan membawa kesuksesan hidup dunia-akhirat. Bahwa kegagalan-kegagalan bebagai sistem dalam membentuk perilaku dan membangun peradaban ilmu yang bermartabat semuanya diakibatkan kesalahan meletakkan dasar pendidikan. Argumen-argumen seperti ini harus dapat dikuatkan dengan menunjukkan bukti nyata dari produk system terbaik yang ditawarkan. Produk sistem tersebut berupa out put pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang fasih membaca zaman dan terampil merakit pola kehidupan yang kokoh serta lebih siap menghadapi hidup pasca dunia.

Jika pada akhirnya aku harus beralih peran dari pengabdian di lembaga Pendidikan Hidayatullah, harpan-harapanku takkan pernah putus untuk dapat menyaksikan Hidayatullah tampil sebagai pioneer pendidikan yang tangguh, mampu melahirkan insan-insan tercerahkan, menjadi tonggak bangunan peradaban serta para mujahidnya selalu siap menumpahkan dara kesyahidan demi tegaknya kalimat tauhid. Dan pada peranku yang lain nantinya aku berharap dapat tetap konsisten memegang idealisme serta tetap komitmen membangun makna hidup sebagai sebuah pelayanan, terutama bagi pendidikan.

Sekarang pake netbook, di sini dulu saya masih mengandalkan 
spidol dan whiteboard

Kini aku harus menyampaikan terima kasih kepada semua warga Pondok Pesantren Hidayatullah serta semua kawan sejalan atas penerimaannya dan permaklumannya terhadap segala kekurangan dan kelemahan diriku. Aku percaya bahwa persaudaraan dan kasih sayang telah menyibakkan tirai keakuan sehingga tak ada ruang untuk menempatkan penyakit-penyakit di hati kecuali telah tercampakkan dengan kemaafan yang senantiasa siaga tanpa diminta. Kepada bapak Ustadz H. Jamaluddin Ibrahim, dengan tanpa melebihkan atau mengabaikan yang lain, aku ingin mengucapan terima kasih atas kepercayaan yang beliau titipkan, namun aku minta maaf sekiranya amanah itu tak dapat aku tunaikan dengan baik. Dan kepada bapak Drs. Nurdin AR. Yang menyertakan aku dalam menggarap lahan pendidikan di SMA Hidayatullah, semoga tetap ridha andai harus melepas segala tanggung jawabku. Jika kegagalan adalah sukses yang tertunda, maka kini aku telah sukses menyaksikan kegagalanku memberikan yang terbaik bagi SMA Hidayatullah. Kepada para santri SMA Hidayatullah yang senantiasa menyejukkan hatiku, aku titipkan semangat dan harapanku semoga kejayaan Islam berawal dari perjuangan kalian menuntut ilmu di sekolah ini. Akhirnya kepada bapak pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah Cabang Bontang, Bapak H. Sofyan Sumlang, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya jika kebersamaanku di Pesantren Hidayatullah tidak sesuai dengan harapan yang menjadi visi dan misi Hidayatullah.

Bontang, Juni 2006
 
;