Senin, April 10, 2006 0 komentar

MEMBANGUN DISIPLIN BERBASIS KESADARAN

Bun Yamin

“You cannot teach a man anything, you can only help to find it for himself.” –Galileo-

Sebelum melanjutkan tulisan ini,  saya ingin menyatakan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, setiap orang berhak memiliki ide dan cita-cita, tetapi tidak semua orang dapat melaksanakan idenya dengan baik atau mewujudkan cita-citanya.
Kedua, setiap orang boleh menggunakan ide orang lain dan mungkin dapat mewujudkannya lebih baik dari yang empunya ide.
Ketiga, suatu ide tidak dapat dipaksakan untuk dilaksanakan pada suatu tempat dan keadaan karena setiap tempat dan keadaan memiliki karakter tersendiri.
Tiga hal tersebut harus saya kemukakan untuk menghindari kesan bahwa gagasan-gagasan yang mungkin nanti saya munculkan adalah ide yang terbaik, paling cocok dan telah dapat saya laksanakan dengan baik. Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah yang mengolah data dan fakta dengan analisis ilmiah, tetapi hanya sekedar curah gagasan lepas yang mungkin lebih banyak menggunakan pendekatan rasa daripada rasio yang teramat didewa-dewakan masyarakat ilmiah. Ide-ide emosional ini merupakan refleksi gejolak rasa terhadap fenomena Yayasan Pendidikan Terusan Kaltim (YPTK) Rigomasi yang menurut saya terlalu diabaikan dan selalu mendengungkan jargon profesionalitas yang kering dengan sentuhan rasa.
Alam emosi dari setiap individu teramat luas untuk dijangkau dan teramat dalam untuk diselami. Dan setiap orang tidak mampu keluar dari alam emosinya lalu mengontrolnya dengan instrumen rasio yang paling brillian sekalipun. Rasio manusia memiliki keteraturan dan lebih mudah diadaptasikan dengan situasi dan lokasi yang beragam. Dengan argumen, ia dapat diajak berbicara; setuju atau tidak setuju, menolak atau menerima, membenarkan atau menyalahkan. Tetapi sesuatu yang telah dibenarkan oleh rasio tidak serta-merta mendapat dukungan emosi jika iklim emosi pada saat itu dalam posisi minus. Lalu apa pentingnya melibatkan emosi dalam kerja-kerja profesional?

Profesionalisme versus Perasaan
          Mitos perasaan sebagai penghambat seikap profesional bagi sebagian orang mungkin masih dipercaya. Karena profesionalisme sering dikaitkan kemampuan berpikir logis, mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat serta masuk akal. Orang yang menyatakan sikap dimana melibatkan unsur-unsur perasaan dikatakan tidak profesional atau terlalu emosional. Sehingga untuk dapat bersikap profesional dalam pendapat ini harus mampu menyisihkan emosi atau jika tidak, harus dapat memendamnya yang dalam istilah mereka ‘menahan diri’. Hal ini berarti ketika melaksanakan tugas dimana profesionalitas dibutuhkan, maka ‘kran emosi’ harus ditutup rapat-rapat agar pekerjaan dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan. Tetapi mungkinkah ini dapat dilaksanakan?
Kita mungkin dapat merenungkan kisah berikut : “Seorang professor yang baru saja kehilangan istri mudanya karena dibawa lari oleh asistennya yang lebih muda dan rupawan. Untuk menghilangkan kegundahan hatinya, ia menyibukkan diri di ruang kerjanya. Di atas mejanya sudah ia siapkan tiga buah buku referensi yang ketiganya berbahasa asing berbeda. Ia mengambil buku pertama berbahasa Prancis dan membukanya secara acak dan secara tak sengaja halaman 751 langsung terbuka karena ternyata  di situ terselip foto istri mudanya yang telah berpindah ke lain hati. Ia menatap foto itu sesaat lalu memasukkannya ke laci mejanya. Lalu Sang Professor melanjutkan pekerjaannya. Tetapi baru membuka dua halaman berikutnya, ia kembali membuka laci mejanya dan kembali menatap foto sang istri dengan tatapan hampa. Berkali-kali ia mencoba meneruskan pekerjaannya, tetapi masih saja terlintas bayangan istrinya yang kini hanya tertinggal dalam selembar foto.”
Cerita ini hanya rekaan, tetapi siapa pun pasti memahami kondisi seperti itu dimana perasaan selalu menyertai siapa pun. Apakah professor tersebut tidak profesional karena tidak dapat menyisihkan emosinya saat melaksanakan tugasnya? Masalahnya tidak demikian sederhana. Jika ia seorang professor dan memiliki kecerdasan emosional, maka perasaannya itulah yang semestinya ia gunakan untuk memacu kerja otaknya untuk menyelesaikan masalah. Di sinilah pengolahan rasa diperlukan dan membutuhkan profesionalitas yang lebih tinggi.

Pendekatan Manajemen Rasa
Telah disebutkan sebelumnya bahwa alam emosi itu teramat luas dan sulit menentukan batas tepiannya. Oleh karenyanya, persinggungan emosi lebih sering terjadi tanpa disadari dan selalu meninggalkan bekas-bekas. Bekas-bekas itu dapat berkembang menjadi menjadi penyakit yang dapat melemahkan imunitas etos kerja. Apakah semua persinggungan emosi dapat berakibat seperti ini? Tentu tidak, karena rasa kasih sayang yang bersentuhan dengan perasaan yang sama ternyata dapat memercikkan api cinta yang dapat digunakan sebagai energi untuk mensupply tenaga pada etos kerja. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menata emosi itu agar setiap persinggungan yang terjadi dapat menimbulkan energi positif guna memuluskan langkah-langkah akal melaksanakan tugasnya. Dalam suatu organisasi dimana di dalamnya terjadi interaksi antara orang-orang yang bekerja sama; tujuan telah ditetapkan, kegiatan-kegiatan telah diprogramkan dan strategi pun telah dirancang dengan perhitungan yang matang. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan organisasi ini memiliki kesamaan tujuan tetapi tetap membawa pribadinya masing-masing. Karakter setiap orang yang berbeda harus dapat disesuaikan tetapi tidak untuk disamakan. Peran pemimpin organisasi di sini sangat menentukan.  Ia harus memiliki kecerdasan emosional dengan kepekaan pembacaan emosi, tidak hanya memahami perasaan, tetapi mampu bertindak dalam celah-celah emosi dengan memberikan sentuhan-sentuhan yang membangkitkan spirit berkarya.  Karena spirit itu muncul dari diri setiap orang, maka ia akan bertindak dan bekerja sesuai yang diinginkan dengan menggunakan dorongan yang ada dalam dirinya. Dorongan inilah yang akan membuat orang bekerja tanpa merasa terpaksa atau tertekan. Ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa harus diawasi.
Kembali ke fenomena rigomasi yang semula saya katakan cenderung mengabaikan manajemen rasaini walaupun hal ini bukan masalah satu-satunya. Banyak keluhan-keluhan yang sering terdengar tetapi ditanggapi secara dingin karena alasan profesionalisme. Cara seperti ini sesungguhnya cukup efektif meredam masalah, tetapi emosi yang masih terpendam akan berimbas pada aktivitas guru-guru yang  bersentuhan langsung dengan pengelolaan pengajaran. Guru atau tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang bekerja di bawah tekanan disiplin yang kaku akan tertekan pula emosinya sehingga ia mungkin akan melakukan hal yang sama pada anak didiknya. Anak didik tidak bebas mengekspresikan perasaan dan mereka akan bersikap sebagai badut-badut dalam kelas. Mereka hanya akan menyahut ketika disapa tetapi tidak pernah memberikan respon yeng baik terhadap pelajaran. Kepatuhan anak didik juga hanyalah kepatuhan semu karena berada dalam tekanan sebagaimana kepatuhan guru-guru mereka yang tertekan dengan disiplin yang kaku. Kedewasaan sikap guru yang berlapang dada mungkin dapat mencegah hal seperti ini, tetapi bukankah aturan itu dibuat untuk lebih mendewasakan sikap siapa saja? Artinya aturan itu harus dapat mengayomi berbagai karakter yang berbeda dengan memberikan kebebasan mengekspresikan rasa dan rasio secara harmonis. Aturan disiplin yang ditegakkan tidak lebih sebagai upaya menumbuhkan kesadaran dan ini hanya dapat terwujud manakala lahan emosi tergarap dengan baik.
Saya kira ini bukan gagasan baru karena sudah menjadi perhatian para pakar bahwa kecerdasan emosional lebih besar kontribusinya dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang. Kecerdasan intelektual yang mendapat porsi lebih besar dalam dunia pendidikan kini banyak disoroti karena terbukti efektif menghasilkan manusia cerdas akalnya tetapi tidak berdaya menghadapi situasi hidup yang berubah-ubah.
Jika Rigomasi ingin tetap eksis dan maju, maka seharusnya dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi dengan mebenahi sistem manajerialnya dan tetnunya hal-hal lain yang dianggap perlu. Perlu diingat bahwa lembaga pendidikan bukanlah perusahaan yang kesuksesannya diukur dengan omset bernilai uang. Tetapi ia adalah sebuah lahan di mana anak-anak bangsa mendapatkan bantuan untuk menemukan dirinya. “You cannot teach a man anything, you can only help to find it for himself.” Begitu ungkapan Galileo Galilei, seorang ilmuwan sejati yang lebih memilih raganya terpenjara daripada mengubah keyakinannya.

Bontang, 10 April 2006

Catatan : 
Tulisan ini saya buat beberapa hari sebelum mengundurkan diri sabagai tenaga pengajar di SMP YPTK Rigomasi Bontang karena harus beralih ke tugas dan profesi yang lain
 
;